BADUNG, Wberita.com |Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Badung Made Wijaya angkat bicara atas berlarut-larutnya konflik Desa Adat Jimbaran dengan investor PT. Jimbaran Hijau (JH). Mengingat, Desa Adat Jimbaran menuntut pembukaan akses tempat suci atau Pura dan pengembalian Hak Adat, sementara PT. Jimbaran Hijau bertahan pada klaim kepemilikan HGB.
Made Wijaya menyatakan investor yang sekarang bernama PT Jimbaran Hijau memegang hak sewa dari Pemerintah terhadap hutan negara.
Hal tersebut berarti Pemerintah memegang peranan penting atas kepemilikan lahan. Terlebih lagi, aturan Pemerintah menyebutkan investor yang berinvestasi di wilayah masing-masing dimanapun dia berinvestasi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku di daerah setempat, apalagi menyangkut masalah tradisi, adat dan budaya ditempat dia berinvestasi tersebut.
“Itu di Bali, dan menyangkut tempat suci, secara etika dan moral mereka memberikan investasi di Bali, masalah jalan untuk akses itu seharusnya ada kebijakan,” tegasnya.
Menurutnya, tidak bisa menyatakan bahwa kuasa hukum siapapun itu tanah yang dimiliki atas dasar hak selama ini harus mengikuti koridor hukum.
Tak hanya itu, Made Wijaya menyindir oang hukum semestinya harus paham atas pembangunan ini mestinya dilihat, untuk bangunan rumah pribadi seseorang atau sebagai tempat pembangunan pura, apalagi bantuan hibah itu berasal dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali bukan malah menyangkutkan ke pasal-pasal.
“Itu seolah-olah tidak paham, dimana kita berpijak disitu langit kita junjung.
” Kalau saya sebagai investor melihat situasi begitu, memang betul duduk bersama tapi ego sektoralnya terhadap pemahaman dan terhadap masyarakat adat itu, saya tidak seperti begitu egonya,” kata Made Wijaya.
Kalau begitu cara investasinya, lanjutnya mereka tidak menginginkan dukungan masyarakat disekitarnya. Meski tercipta lapangan pekerjaan, tetapi cara pandangnya seperti itu membuat Made Wijaya kecewa melihat kelakuan investor seperti itu. Apalagi, Made Wijaya juga sebagai Bendesa Adat.
“Bendesa itu memiliki masyarakat sekian ratus orang. Bahkan lebih hingga seribuan kalau itu dikerahkan apakah investasi kita dibuat kondusif? Khan bisa saja seorang bendesa, tetapi kita selaku masyarakat adat masih bisa diajak berdialog dan mediasi,” paparnya.
Selaku wakil rakyat, Made Wijaya memberikan saran kepada pihak investor, jika berinvestasi di Bali harus menghormati Bali dari segi agama, adat istiadat dan hukum adat.
“Saya harap masyarakat Desa Adat Jimbaran solid, jangan terpecah belah harus kompak memperjuangkan hak-hak masyarakat adat,” tandasnya.
Patut diketahui, bahwa konflik ini berakar dari proses alih izin lokasi dan Hak Guna Bangunan (HGB) sejak 1990-an. Berdasarkan dokumen Resume Permasalahan Keberadaan PT Jimbaran Hijau tertanggal 29 Juli 2025, lahan tersebut awalnya digarap oleh warga Jimbaran turun-temurun untuk bertani dan berkebun.
Namun pada 1994, tanah itu dilepaskan melalui surat pernyataan “tidak keberatan” yang ditandatangani oleh beberapa pejabat kelurahan dan petajuk adat setempat, tanpa melibatkan para penggarap.
Lahan kemudian beralih dari PT Bali Paradise Resort ke PT Citratama Selaras (CTS), dan selanjutnya berpindah ke PT Jimbaran Hijau (JH) pada 2009.
Yang menjadi persoalan, menurut warga Desa Adat Jimbaran, proses pelepasan hak dilakukan tanpa transparansi dan tanpa musyawarah dengan masyarakat penggarap. Sejak saat itu, banyak warga kehilangan lahan garapan, kehilangan mata pencaharian dan sebagian bahkan harus meninggalkan tanah kelahiran mereka.
“Tanah itu adalah sumber hidup kami. Tapi ketika izin investor datang, kami hanya menjadi penonton di rumah sendiri,” kata Tim Advokasi Masyarakat Adat Jimbaran dalam resume tersebut.
Lahan tersebut sempat direncanakan sebagai proyek Bali International Park (BIP), yang disebut akan menjadi kawasan wisata terpadu sekaligus lokasi penyelenggaraan KTT APEC 2013, sesuai Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2010.
Namun faktanya, proyek tersebut tak pernah terwujud. Hingga kini, area yang luas itu sebagian besar tetap kosong hanya ditumbuhi semak dan dijaga ketat oleh petugas keamanan perusahaan.
Selama lebih dari 30 tahun, warga menilai PT Jimbaran Hijau menelantarkan lahan dan gagal memenuhi kewajiban pembangunan sebagaimana syarat perpanjangan HGB.
Berdasarkan dokumen resmi, HGB PT Jimbaran Hijau sebagian besar telah berakhir pada tahun 2019. Warga berharap Kementerian ATR/BPN tidak memperpanjang izin tersebut dan mengembalikan tanah ke negara, untuk kemudian diberikan prioritas pengelolaan kepada masyarakat adat Jimbaran.
Hal tersebut diperkuat pernyataan Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra, bahwa HGB atas lahan tersebut tercatat habis pada 2019. Namun, warga tidak menerima informasi resmi atas hak tersebut diperpanjang atau dikembalikan ke negara. Padahal, menurut aturan, tanah negara yang telantar selama lebih dari tiga tahun bisa ditarik kembali untuk didistribusikan ulang kepada pihak yang berhak.
Menurutnya, data yang dibawa warga menunjukkan sekitar 300 Kepala Keluarga kini tidak memiliki akses memadai terhadap lahan produktif. Mereka hidup berdampingan dengan kawasan hotel dan wisata kelas atas, namun menghadapi kesulitan ekonomi karena keterbatasan ruang hidup dan biaya hidup yang tinggi.
Bahkan, pihaknya juga menyatakan keluhan serupa telah disampaikan ke Pemerintah Daerah, DPRD, hingga lembaga peradilan, tetapi tidak membuahkan perubahan. Ia berharap intervensi Pemerintah Pusat bisa membuka jalan penyelesaian.
“Jika tanah negara yang sudah tidak digunakan itu dikembalikan kepada masyarakat hukum adat, setidaknya warga kami bisa kembali punya penghidupan yang layak,” kata Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra.
Kemarahan masyarakat memuncak pada Juni 2025. Sebanyak 46 Kepala Keluarga Pengempon Pura Belong Batu Nunggul menerima hibah senilai Rp500 juta dari Pemprov Bali untuk memperbaiki pura yang telah berdiri jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Namun, ketika material pembangunan hendak diangkut ke lokasi, mereka dihadang oleh petugas keamanan PT Jimbaran Hijau.
Akses jalan menuju pura ditutup tembok dan dipasangi papan larangan besar bertuliskan:
“BUKAN JALAN UMUM – DILARANG MASUK. PELANGGAR DIANCAM PIDANA PENJARA MAKSIMAL 7 TAHUN (PASAL 167, 385, 170 KUHP)”.
Peristiwa itu menjadi simbol benturan antara nilai adat dan legalitas korporasi.
“Larangan itu bukan hanya menghambat perbaikan pura, tapi juga mengoyak rasa keadilan masyarakat adat. Pura adalah jiwa bagi umat di Bali,” tegas Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra, seusai mediasi. (Pi)












